Kamis, 20 Maret 2014

Hermeneutika Paul Ricoeur


Disusun Oleh:
Muhammad Akmaluddin al-Qudsiyyi*)

A.    PENDAHULUAN
Kajian al-Qur’an sudah banyak dilakukan, mulai dari sejarah pembukuan, varian bacaan (qira>’ah) hingga pemahaman (tafsir) ayat-ayatnya. Mengenai yang terakhir ini, sudah banyak penafsiran dari zaman Rasulullah dan ratusan karya ditulis mulai dari zaman al-Farra>’ (w. 207 H) hingga masa sekarang seperti Wahbahal-Zuh}ayli>>. Terhadap karya yang ditulis, setidaknya muncul beberapa pemaknaan terhadap al-Qur’an (baca: tafsir) yang beragam. Pemaknaan itu ada yang dilihat dari segi bahasa, sejarah, fikih, teologi dan yang lainnya.
Dengan terjadinya perbedaan itu, maka pemahaman terhadap ayat al-Qur’an sangat variatif dan selalu berkembang dari masa ke masa. Dengan pendekatan hermeneutika yang digagas Paul Ricoeur, makalah ini akan mendiskusikan beragamnya pemahaman terhadap QS. Al-Fa>tih}ah: 7 dan QS. Al-Baqarah: 269.

B.     RIWAYAT HIDUP PAUL RICOEUR
Paul Ricouer dilahirkan di Valence, Perancis Selatan, tahun 1913 dan menjadi yatim piatu dua tahun kemudian. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dipandang sebagai cendikiawan di Perancis. Dibesarkan sebagai yatim piatu di Rennes. Pada tahun 1930 ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Universitas Sorbonne sebagai mahasiswa S-2 dan pada tahun 1935 memperoleh agregasi filsafat secara resmi di sana.[2] Dia menggeluti bidang filsafat karena bekenalan dengan R. Dalbiez, kemudian melanjutkan studi di Universitas Sorbonne dan lulus tahun 1935 dengan agregasi filsafat.[1]
Karirnya dimulai dari perkenalannya dengan Dalbiez di Lycee, seorang filsuf beraliran Thomistis yang terkenal, karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan studi mengenai psikoanalisa Freud (1936). Pada tahun 1937 hingga 1939 mengikuti wajib militer Perancis dan menjadi tahanan perang hingga 1945. Dalam tahanan di Jerman dia justru belajar filsafat dari karya Husserl, Heidegger, Jaspers yang lebih beraliran eksistensialis pada waktu itu. Kemudian dia meraih gelar doktornya di Universitas Strasbourg tahun 1950. Dia terus mempelajari dan membaca filsafat dari para filsuf besar sehingga dia benar-benar ahli dalam filsafat. Kemudian selain bidang filsafat, pandangannya meluas kepada politik, sosial, kultural, pendidikan dan teologi. Berkat pemikiran teologinya, dia dianugerahi doktor teologi honoris dari Universitas Katolik Nijmegen di Belanda pada tahun 1968. Dia juga memperoleh gelar profesor filsafat dari Universitas di Sorbonne pada 1959.[2]
Karya-karyanya terus saja terbit, baik dalam bidang filsafat maupun teologi. Dia berpindah ke Universitas Nanterre untuk melakukan kontak lebih erat dengan mahasiswa di sana, namun justru dalam gerakan mahasiswa melawan pemerintahan Jenderal Gaulle dia mengundurkan diri karena trauma dengan kekerasan yang terjadi dalam lingkup kampus. Lalu dia hanya menjadi dosen undangan di Universitas Lauven, Universitas Chicago dan menjadi direktur di Pusat studi tentang fenomenologi dan hermeneutika. Dia terus berkarya dalam filsafat, bahasa dan hermeneutika.[3]
Karya-karyanya antara lainPhilosophie de la Volonte(Filsafat Kehendak)–yang kemudian dibuat menjadi dua volume; yaituLa Volontaire et l’Involontaire(Yang Dikehendaki dan Yang Tidak Dikehendaki) dan Finitude et Culpabilite(Keterbatasan dan Kesalahan)–, L’HommeFaillible(Manusia yang Mudah Jatuh pada Dosa) dan La Symbolique du Mal (Simbol Dosa/Kejahatan).[4]

C.    PEMIKIRAN TENTANG HERMENEUTIKA
Pemikiran Paul Ricoeur dipengaruhi oleh Gabriel Marcel, fenomenologi dari Husserl, Heidegger dan Jaspers. Selain itu hobi membaca karya Plato, Aristoteles, Kant, Hegel dan Nietzsche sehingga ia mempunyai pengetahuan yang luas terhadap filsafat barat. Dalam karya-karyanya, di tampak memiliki perspektif filsafat yang beralih ke analisis-eidetik (pengamatan yang sedemikian mendetail), fenomenologis, historis, hermeneutik hingga pada akhirnya semantik, namun pada akhirnya konsentrasi Ricoeur mengarah pada hermeneutika.[5]
Kontribusi Ricoeur adalah dalam teori yang dikembangkannya untuk memahami teks, yaitu menggabungkan antara pemahaman (verstehen) dan penjelasan (erklaren) yang telah menjadi perdebatan lama para hermeneut. Ricoeurberargumen bahwa keduanya (verstehendan erklaren) dibutuhkan untuk membongkar makna yang terkandung dalam teks. Menurutnya, penjelasan (erklaren) akan memperjelas atau membuka jajaran posisi dan makna sementara dengan pemahaman (verstehen) kita akan memahami atau mengerti makna parsial secara keseluruhan dalam suatu upaya sintesis. Dengan demikian, menurut Ricoeur, membaca adalah menafsirkan dan menafsirkan adalah memahami dan menjelaskan.[6]
Ricoeur bermaksud mengintegrasikan antara pemahaman (verstehen) dan penjelasan (erklaren) dalam satu proses penafsiran seperti terlihat dalam momen awal interpretasi teks. Secara sederhana, dalam teori interpretasi Ricoeurada tiga momen:[7]
1.      Momen pertama adalah proses menafsirkan teks berawal dengan menebak atau mengira-ngira makna teks karena pembaca sebenarnya tidak mempunyai akses untuk mengetahui maksud pengarang. Bagi Ricoeur, inilah proses pemahaman (verstehen) paling awal dan kita mencoba memahami makna teks secara umum, belum sampai mendetail (pre-reflective understanding). Pada momen awal ini, teks kemungkinan menyuguhkan beragam makna
2.      Momen kedua adalah kita mulai mencari penjelasan kritis dan metodis menyangkut pemaknaan awal yang dihasilkan melalui pre-reflective understanding. Pemahaman itu bisa saja divalidasi, dikoreksi atau diperdalam dengan mempertimbangkan struktur obyektif teks. Di sini terlihat pemahaman mendetail harus diperoleh melalui momen penjelasan metodis (suatu proses yang bersifat argumentatif-rasional)
3.      Momen ketiga adalah apa yang disebut appropriation yaitu proses memahami diri sendiri di hadapan dunia yang diproyeksikan teks dan merupakan puncak dari proses penafsiran di mana seseorang menjadi lebih memahami dirinya sendiri. Pada momen ini terjadi dialog antara pembaca dan teks.

Hermeneutika Ricoeur bersifat dialektis dan evaluatif. Dialektis artinya ada keterkaitan resiprokal (timbal balik) antara pemahaman (verstehen) dan penjelasan (erklaren) di satu sisi dan momen dialogis antara pembaca dan teks di sisi lain. Evaluatif artinya karena distansiasi(jarak) metodologis mengasumsikan adanya subyektivitas penafsiran yang membutuhkan prosedur atau metode tertentu untuk mengevaluasinya.[8]
Yang menarik dariRicoeur adalah prosedur untuk mengevaluasi subyektivitas tafsir tidak lain adalah logika probabilitas dan bukan logika empirik-verifikatif. Dengan menekankan logika validasi (bukan empirik-verifikatif), ia hendak menegaskan bahwa perbedaan tafsir itu selalu terbuka untuk diperdebatkan, didialogkan dan disintesiskan. Ia tidak memandang semua penafsiran sama karena adanya keragaman atau bahkan pertentangan tafsir mengindikasikan bahwa tafsir-tafsir tersebut perlu didukung dengan argumen-argumen yang menguatkannya. Menurutnya, metode probabilitas yang dipakai untuk menguji subyektivisme makna itu dimaksudkan untuk melampau jebakan dogmatisme dan skeptisisme.[9]
Sebuah teks adalah subyektif dalam kaitannya dengan apa yang sebenarnya dimaksudkan pengarangnya. Dan obyektif dalam kaitannya dengan apa yang bisa ditangkap dari teks.Dalam tafsir al-Qur’an misalnya, hermeneutika klasik akan merekomendasikan seorang mufassir untuk membayangkan dirinya hidup pada zaman Rasulullah bersama dengan orang-orang Arab pada waktu itu untuk bisa memahami apa yang diinginkan oleh al-Qur’an. Mengenai jarak waktu yang ada di antara kita dan pembuatan teks yang kita baca, ada dua aliran yang berkembang. Yang pertama adalah aliran obyektif, dimana aliran ini menarik kita ke dalam zaman teks. Aliran ini diwakili oleh Schleiermacher dan Dilthey. Aliran ini mengajak untuk memahami teks sebagaimana ada di luar diri penafsir, dalam zaman pembuatan teks itu sendiri sebagaimana diharapkan oleh pengarangnya. Dalam tafsir, aliran ini disebut tafsir bi al-ma’tsur. Yang kedua adalah aliran subyektif yang menarik teks ke zaman kita, yang diwakili Gadamer,. Aliran ini berusaha untuk mendialogkan teks dengan pembaca dan situasi di zamannya serta kemampuannya untuk memaknai teks atas dasar tanda-tanda yang terdapat dalam teks itu sendiri. Dalam tafsir, aliran ini disebut tafsir bi al-ra’y.[10]
Ricoeur mengakui teks selalu punya pengarang tetapi pada saat yang sama teks bisa difahami otonom dari maksud awal pengarang. Menurutnya, teks menjauh dari horizon pengarangnya. Makna teks sekarang lebih penting daripada apa yang dimaksudkan pengarangnya saat menulis teks. Baginya, mengetahui siapa yang menulis teks dan kapan ditulis sama sekali tidak berguna dalam memahami teks. Makna dari teks bisa berkembang dan berubah melampaui maksud pengarangnya. Interpretasi hermeneutis memunculkan rangkaian makna baru di hadapan teks dan memungkinkan terjadinya variasi pembacaan, baik yang mendukung makna terdahulu maupun yang menentangnya.Bagi Ricoeur, tesis utama hermeneutika adalah bahwa interpretasi masih berada dalam proses (ongoing process), terus berlangsung dan tidak akan ada yang menuntaskannya.[11]

Plurivocity of Text
Plurivositas teks menurut Ricoeur adalah tipikal dari karya-karya diskursus yang kompleks dan terbuka bagi keragaman pemaknaan. Dengan demikian, para mufassir klasik yang dianggap lebih dekat dengan wahyu dan lebih tahu makna ayat al-Qur’an tidak lebih tahu dari mufassir modern. Para mufassir klasik, sebagaimana nanti kita akan membahasnya, menafsirkan ayat al-Qur’an berdasarkan pemahaman yang mereka anggap paling masuk akal dan bukan menurut pengertian yang dimaksudkan Allah atau Rasulullah.[12]
Secara tidak langsung, para mufassir klasikmenyadari bahwa teks al-Qur’an itu terbuka bagi beragam penafsiran. Bagi Ricoeur, mereka menggunakan prosedur membaca teks dari menebak makna (pre-reflective understanding) hingga distansiasi metodis dan tidak berbeda dengan kita sekarang.[13]

D.    PENAFSIRANAL-FA<TIH{AH: 7 DAN QS. AL-BAQARAH: 269
Allah berfirman dalam al-Qur’an al-Karim:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”

Dalam ayat tersebut, akan dibahas penafsiran tiga bagian ayat, yaitual-magd}u>b ‘alayhim, wa ala> al-d}a>lli>ndanal-h}ikmah dari mufassirpra al-T{abari,[14] al-T{abari, al-Zamakhsyari>, Ibn Kas\i>r, M. Abduh dan al-Zuh}ayli>. Masing-masing dari mufasir tersebut menurut penulis sudah cukup untuk melihat berbagai penafsiran yang beragam.

1.      Al-magd}u>b ‘alayhim(mereka yang dimurkai)
Para mufassir klasik seperti ‘Adiyy bin H{a>tim, ‘AbdAlla>h bin Syaqi>q, Ibn Mas‘u>d, Muja>hid dan Rabi>‘ dan Ibn ‘Abba>s mengatakan bahwa mereka adalah Yahudi.[15]Mufassir sesudah mereka seperti Al-Zamakhsyari>[16] dan Ibn Kas\i>r juga sependapat dengan mereka.[17]
Menurut al-T{abari>, arti dari mereka yang dimurkaidijelaskan dalam QS. Al-Ma>’idah: 60.[18]Selanjutnya al-T{abari>dalam QS. Al-Ma>’idah: 60 mengatakan, sependapat dengan Abu>Ja’far,bahwa mereka adalahorang-orang yang membuat agama Islam jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik)[19]dan memandang orang Islam salah, hanya lantaran mereka beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada mereka dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya.[20]Mereka yang dijauhkan dari rahmat Allah dan dimurkai-Nya sehingga adzab disegerakan di dunia.[21] Dalam hal ini, orang-orang yang sesuai dengan kriteria di atas pada zaman Rasulullah adalah orang Yahudi.
Muhammad ‘Abduh memberikan penafsiran bahwa mereka yang dimurkaiadalah orang yang keluar dari kebenaran setelah mereka mengetahuinya dan mereka yang telah sampai padanya syari’at dan agama Allah kemudian mencampakkan dan menolaknya dengan berpaling dari argumen, hanya mengikuti perkataan yang tidak jelas dan mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk.[22]
Mereka yang dimurkaiorang yang tersesat. Ini dikarenakan mereka mencampakkan yang benar dan berpaling dari tujuan dan arah yang benar. Mereka ini tidak sama, ada yang tahu kebenaran tersebut dan berpaling darinya. Ada juga yang tidak tahu kebenaran tersebut hingga tersesat di jalan sehingga tidak sampai pada tujuan. Yang terakhir ini juga tidak sama, ada yang belum sampai padanya ajaran tentang kebenaran itu dan ada yang sudah. Adapun mereka yang sudah sampai padanya ajaran tentang kebenaran itu dan mereka tidak mendapat kejelasan kebenaran tersebut, merekalah yang berhak mendapatkan predikat tersesat. Ini dikarenakan substansi dari tersesat adalah mereka yang kesasar dalam ketidakjelasan (‘ama>yah) yang tidak mendapat petunjuk padaapa yang dicarinya. Adapun ketidakjelasan (‘ama>yah) dalam agama adalah hal-hal yang syubhah(tidak jelas) yang menyerupakan yang benar dengan yang batil dan yang benar dengan yang salah.[23]
Menurut al-Zuh}ayli>, mereka yang dimurkaiadalah mereka yang sampai padanya agama yang benar yang disyari’atkan Allah pada hamba-Nya tetapi mereka menampik dan membuangnya.[24]

2.      Wa ala> al-d}a>lli>n(mereka yang sesat)
Para mufassir klasik seperti ‘Adiyy bin H{a>tim, ‘AbdAlla>h bin Syaqi>q, Ibn Mas‘u>d, Muja>hid, Rabi>‘ dan Ibnu ‘Abba>s  mengatakan bahwa mereka adalah Nasrani. Mufassir sesudah mereka seperti Al-Zamakhsyari>[25] dan Ibn Kas\i>r juga sependapat dengan mereka.[26]
Menurut al-T{abari>, arti dari mereka yang sesatadalah mereka adalah yang disifati Allah dalam QS. QS. Al-Ma>’idah: 77.[27]Selanjutnya al-T{abari>dalam QS. Al-Ma>’idah: 77 mengatakan, sependapat dengan Abu>Ja’far, yaitu tidak berlebih-lebihan (melampaui batas) sebagaimana terjadi dalam diri ‘I@sa> al-Masi>h}yang dianggap Tuhan atau anak Tuhan sehingga tersesat dari jalan yang benar.[28] Juga tidak mengikuti hawa nafsu Yahudi yang tersesat dari jalan kebenaran sebab perkataan mereka tentang tuduhan terhadap Maryam. Begitu juga dengan apa yang telah dilakukan Yahudi, yaitu menyesatkan orang-orang dari jalan kebenaran dengan kufur mereka kepada Allah dan pendustaan terhadap utusan-Nya, yaitu Isa dan Muhammad, hilang dan jauhnya keimanan dari diri mereka.[29]
Muhammad ‘Abduh memberikan penafsiran bahwa mereka yang sesatada beberapa jenis:[30]
a.       Mereka yang tidak sampai padanya ajaran Allah (risa>lah) atau sampai tetapi tidak membutuhkan angan-angan. Mereka ini tidak bisa mendapatkan petunjuk kecuali apa yang dihasilkan panca indra dan akal. Mereka terhalang dari petunjuk agama. Walaupun mereka tidak tersesat dalam kehidupan dunia, maka mereka akan tersesat dalam kehidupan selanjutnya[31]
b.      Mereka yang sampai padanya ajaran Allah dan masih membutuhkan angan-angan. Mereka tidak bisa mendapati oleh keimanan dan menghabiskan umur dan usahanya untuk memahami ajaran Allah. Ini hanya terjadi pada sebagian orang sehingga kesesatan mereka tidak berefek pada orang yang lain[32]
c.       Mereka yang sampai padanya ajaran Allah, membenarkannya tanpa berangan-angan dalil-dalilnya sehingga mengikuti hawa nafsu dalam memahami pondasi akidah sebagaimana terjadi pada beberapa kajian dasar agama seperti tauhid, tasawuf dan yang lainnya[33]
d.      Sesat dalam perbuatan dan merubah hukum yang telah ditetapkan, seperti merubah (ih}tiyal) status harta dengan berganti kepemilikan agar tidak wajib dizakati.[34]
Menurut Abduh, kriteria pertama, ketiga dan keempat terlihat dampaknya yang merusak umat, merusak akhlak dan akibatnya terjadilah berbagai bencana, baik bencana yang material maupun immaterial.[35]
Menurut al-Zuh}ayli>, mereka yang sesatadalah mereka yang tidak mengetahui kebenaran atau tidak mengetahuinya secara benar. Mereka adalah yang tidak sampai padanya ajaran Allah atau sampai tetapi hanya sebagian.[36]

3.      Al-h}ikmah(hikmah)
Ibn ‘Abba>s menafsirkanal-h}ikmahdengan pengetahuan tentang al-Qur’an yang meliputina>sihk-mansu>kh, muh}kam-mutasyabih, muqaddam-muakhkhir, halal-haram dan yang lainnya.[37]Sementara Muja>hid menafsirkan sebagai is}a>bah (kebenaran, ketepatan, mendapatkan).[38]Qata>dah menafsirkan pemahaman al-Qur’an.[39] Ibn Zayd menafsirkan al-h}ikmahsebagai akal.[40]Al-Rabi>‘ menafsirkandengan takut, karena pokok segala sesuatu adalah takut kepada Allah seperti dalam QS. Fa>t}ir: 28.Yang lain mengatakan pengetahuan tentang agama.[41]
Menurut al-T{abari>, arti darial-h}ikmah, sependapat dengan Abu>Ja‘far adalah mendapatkan kebenaran dalam perkataan dan perbuatan.[42] Sedangkan al-Zamakhsyari> menafsirkan sebagai keharmonisan ilmu dan perbuatan, dan orang yang mempunyai al-h}ikmah adalah Yang Mempunyai Ilmu dan Yang Melakukan.[43]
Ibn Kas\i>r menerangkan bahwa al-h}ikmahtidak dikhususkan dengan kenabian –walaupun menjadi tingkat paling atas– dan risa>lah adalah yang paling spesifik, tetapi mengikuti para nabi adalah suatu kebaikan sebagaimana diriwayatkan dalam hadis bahwa orang yang menghafalkan al-Qur’an dimasukkan dalam derajat kenabian diantara dua bahunya, hanya saja dia tidak diberi wahyu.[44]
Menurut Abduh, arti dari al-h}ikmahadalah pengetahuan yang benar yang menjadi sifat yang mengatur diri sendiri, yang kemudian diarahkan pada perbuatan. Ketika suatu perbuatan berasal dari pengetahuan yang benar, maka akan menjadi perbuatan yang baik dan bermanfaat yang mengantarkan pada kebahagiaan. Abduh melihat bahwa banyak pengetahuan yang benar hanya menjadi wacana dan tidak direalisasikan sehingga hanya menjadi angan-angan dan buaian.[45]
Lebih lanjut Abduh mengatakan bahwa pemberian hikmah ini adalah pemberian alatnya, yaitu akal yang digunakan untuk menghasilkan pengetahuan yang benar. Akal adalah alat timbang yang akurat bagi kekhawatiran dan ketidaksadaran, yang membedakan imajinasi dan otentifikasi, sehingga ketika skala kebenaran terbukti maka skala ilusi akan tersingkirkan.[46]
Menurut al-Zuh}ayli>, dengan mengkompromikan berbagai tafsiran mufassir, makaal-h}ikmahadalah faham yang benar dan ilmu yang bermanfaat serta mengikuti sesuatu yang diketahui yang mengantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat.[47]



E.     ANALISIS
Dari ketiga bagian diatas, yaitu al-magd}u>b ‘alayhim, wa ala> al-d}a>lli>n dan al-h}ikmahkita melihat beberapa penafsiran yang berbeda. Dalam penafsiran awal, al-magd}u>b ‘alayhimdimaknai sebagai orang Yahudi dan mereka yang sesatadalah Nasrani. Sayangnya, pemahaman mufassirseperti ‘Adiyy bin H{a>tim, ‘AbdAlla>h bin Syaqi>q, Ibn Mas‘u>d, Muja>hid dan Rabi>‘ dan Ibn ‘Abba>s, al-Zamakhsyari>[48] dan Ibn Kas\i>rkemudian ditangkap secara mutlak oleh beberapa orang sehingga Yahudi dan Nasrani“pantas” dijadikan musuh.Apalagi mufassir yang disebutkan tadi, menurut sebagian orang, dianggap pemegang otoritas teks.
Para pendukung gerakan Islamisme memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pemimpin mereka yang diyakini memiliki loyalitas yang tinggi untuk pemahaman ajaran agama yang “benar”. Sifat ini kemudian membentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap semua penafsiran teks agama secara total dan absolut dan menyebabkan penafsiran menjadi homogen. Akhirnya berkembanglah fanatisme buta yang memandang curiga semua pendapat yang datang dari luar. Absolutisme ini menjadi pangkal masalah ketika dipaksakan berlaku universal bagi semua kelompok agama yang ada.[49]
Kelompok fundamentalis seakan-akan meletakkan dunia ini sebagai sesuatu yang bersifat sakral dan bersifat ila>hiyyahyang keluar dari nilai-nilai kesejarahan yang bersifat manusiawi dan berubah. Gerakan fundamentalisme cenderung menafikan adanya pluralitas definisi, kriteria dan penafsiran keontetikan prinsip-prinsip Islam.[50]Padahal para mufassir klasik menafsirkan ayat al-Qur’an berdasarkan pemahaman yang mereka anggap paling masuk akal dan bukan menurut pengertian yang dimaksudkan Allah atau Rasulullah.[51]Secara tidak langsung, para mufassir klasik menyadari bahwa teks al-Qur’an itu terbuka bagi beragam penafsiran. Bagi Ricoeur, mereka menggunakan prosedur membaca teks dari menebak makna (pre-reflective understanding) hingga distansiasi metodis dan tidak berbeda dengan kita sekarang.[52]
Hal ini dapat kita lihat dalam penafsiran al-T{abari> yang kemudian memerinci dari mufassir sebelumnya dengan menggunakan QS. Al-Ma>’idah: 57-60 untuk kriteria Yahudi “yang dimurkai” dan QS. Al-Ma>’idah: 77 untuk kriteria Nasrani “yang tersesat”. Dengan demikian, kriteria Yahudi dan Nasranipada zaman dahulu tidaksama. Mereka ada yang ekstrim, moderat dan liberal, sebagaimana dikatakan dalam QS. A<li ‘Imra>n:75 dan QS. A<li ‘Imra>n: 113-115. Kriteria seperti itu juga ada pada masa sekarang. Bahkan jika mereka tidak mengganggu kita, tidak ada salahnya kita berbuat baik dan adil kepada mereka sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Mumta}anah: 8-9. Perlakuan ini juga berubah sesuai dengan situasi, kondisi, tempat, waktu, motivasi dan kebiasaan yang ada.[53]
Keterbukaan dan ragam penafsiran ini juga terjadi pada Abduh yang tidak lagi berbicara tentang kriteria Yahudi “yang dimurkai” dan kriteria Nasrani “yang tersesat”, tetapi ia berbicara tentang definisi, kriteria dan ragam “yang dimurkai” dan “yang tersesat.” Penafsiran “yang dimurkai” dan “yang tersesat” ini kemudian berkembang terhadap semua orang, tidak hanya pada agama, ras, kelompok, atau bangsa tertentu.Sayangnya, al-Zuh}ayli> yang datang belakangan kemudian membawa penafsiran ini kembali pada ranah agama saja. Mungkin ini dikarenakan kajian tafsirnya yang berkisar pada akidah, syari’ah dan metode.
Dalam bagian al-h}ikmah, keterbukaan dan ragam penafsiran ini juga terjadi. Tidak ada kesepakatan dalam memahami dan menjelaskan al-h}ikmahdi antara para mufassir.Bagi Ricoeur, mengetahui siapa yang menulis teks dan kapan ditulis sama sekali tidak berguna dalam memahami teks. Makna dari al-h}ikmahbisa berkembang dan berubah melampaui mufassir sebelumya. Interpretasi hermeneutis memunculkan rangkaian makna baru di hadapan al-h}ikmahdan memungkinkan terjadinya variasi pembacaan, baik yang mendukung makna terdahulu maupun yang menentangnya.Baginya, tesis utama hermeneutika adalah bahwa interpretasi al-h}ikmahmasih berada dalam proses (ongoing process), terus berlangsung dan tidak akan ada yang menuntaskannya.[54] Hal ini dapat kita lihat dari penafsiran al-h}ikmahyang selalu berlangsung dari pra al-T{abari> hingga al-Zuh}ayli>.

F.      PENUTUP
Dengan menganalisis tiga bagian dari surat al-Qur’an, yaitu al-magd}u>b ‘alayhim(mereka yang dimurkai), wa ala> al-d}a>lli>n (mereka yang sesat) dan al-h}ikmah(hikmah) kita melihat bahwa penafsiran itu selalu berkembang dan beragam. Penafsiran teks sudah, sedang dan dilakukan mengingat pemahaman itu bisa saja divalidasi, dikoreksi atau diperdalam dengan mempertimbangkan struktur obyektif teks.Proses memahami diri sendiri di hadapan dunia yang diproyeksikan teks dan merupakan puncak dari proses penafsiran di mana seseorang menjadi lebih memahami dirinya sendiri. Pada momen ini terjadi dialog antara pembaca dan teks.
Oleh karena itu, tidak ada penafsiran teks yang dianggap paling benar. Semua penafsiran selalu berkembang, sehingga selalu ada satu penafsiran dan penafsiran yang lain. Dengan pemahaman akan teks yang beragam, diharapkan akan terjadi proses dialektika pemahaman yang semakin memberikan khazanah keilmuan dan memperkaya kajian ilmu-ilmu yang ada, terutama kajian Tafsir dan Hadis.


G.    BIBLIOGRAFI
E. Sumaryono, 2013, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. XII
Isma.‘i>l bin ‘Umar bin Kas\i>r, 1999, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (ed. Sa>mi> bin M. Sala>mah), t.tp: Da>r T{aybah li al-Nasyr wa al-Tawzi>‘, Cet. II, Vol. I
M. H{usaynAl-Z|ahabi>, tt., al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Kairo: MaktabahWahbah
Machasin, Sumbangan Hermeneutika tehadap Ilmu Tafsir, Jurnal Gerbang No. 14 Vol. V Tahun 2003, Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi (eLSAD) dan The Asia Foundatio
Mah}mu>d bin ‘Amr al-Zamakhsyari>, 1407 H, al-Kasysya>f ‘an H{aqa>’iq wa Gawa>mid} al-Tanzi>l, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, Cet. III, Vol. I
Muh}ammad bin Abi> Bakr Ibn Qayyim al-Jauziyyah, 1991, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n ‘an Rabb al-‘A<lami>n, (ed. ‘Abd al-Sala>m Ibra>hi>m), Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, Vol III
Muh}ammad bin Jari>r al-T{abari>, 2000, Ja>mi‘ al-Baya>n fi>Ta’wi>l al-Qur’a>n, (ed. Ah}mad M. Sya>kir), Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, Cet. I, Vol. I
Muh}ammad bin Rasyi>d bin ‘Ali> Rid}a>, 1990, Tafsi>r al-Qur’a>n al-H{aki>m, t.tp: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, Vol. I
Musahadi Ham (ed.), 2007, Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia dari Konflik Agama hingga Mediasi Peradilan, Semarang: Walisongo Mediation Center, Cet. I
Syafa’atunAlmirzanah dan SyahironSyamsuddin (eds.), 2011, Upaya Integrasi Hermeneutik dalam Kajian Qur’an dan Hadis Teori dan Aplikasi Buku 2, Yogyakarta: Lembaga Penerbitan UIN Sunan Kalijaga, Cet. II
Wahbah bin Mus}t}afa> al-Zuh}ayli>, 1418 H, al-Tafsi>r al-Muni>r fi al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘ah wa al-Manhaj, Damaskus: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, Cet. II, Vol. I



*) Dipresentasikan dalam Kongkow TeHa pada Rabu Pahing, 17 Jumadil Awwal 1435 H / 19 Maret 2014 M
[1] E. Sumaryono, 2013, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. XII, hlm. 103
[2]Sumaryono, Hermeneutika…, hlm. 103-104
[3]Ibid.,hlm. 104
[4]Ibid.
[5]Sumaryono, Hermeneutika…, hlm. 105
[6], Syafa’atunAlmirzanah dan SyahironSyamsuddin (eds.), 2011, Upaya Integrasi Hermeneutik dalam Kajian Qur’an dan Hadis Teori dan Aplikasi Buku 2, Yogyakarta: Lembaga Penerbitan UIN Sunan Kalijaga, Cet. II, hlm. 65-67
[7]Ibid.,hlm. 67
[8]Syafa’atunAlmirzanah dan SyahironSyamsuddin (eds.), Upaya…, hlm. 70
[9]Syafa’atunAlmirzanah dan SyahironSyamsuddin (eds.), Upaya…, hlm. 70
[10]Machasin, Sumbangan Hermeneutika tehadap Ilmu Tafsir, Jurnal Gerbang No. 14 Vol. V Tahun 2003, Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi (eLSAD) dan The Asia Foundation hlm. 124-125. Lihat juga Al-Z|ahabi>, M. H{usayn, tt., al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Kairo: MaktabahWahbah, hlm. 112 dan 183
[11]Syafa’atunAlmirzanah dan SyahironSyamsuddin (eds.), Upaya…, hlm. 71
[12]Ibid.,hlm. 81              
[13]Ibid.,hlm. 83
[14] Artinya mufassir sebelum al-T{abari> yang banyak diriwayatkan di dalam tafsirnya
[15]Muh}ammad bin Jari>r al-T{abari>, 2000, Ja>mi‘ al-Baya>n fi>Ta’wi>l al-Qur’a>n, (ed. Ah}mad M. Sya>kir), Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, Cet. I, Vol. I, hlm. 185. Selanjutnya disebut al-T{abari>
[16] Mah}mu>d bin ‘Amr al-Zamakhsyari>, 1407 H, al-Kasysya>f ‘an H{aqa>’iq wa Gawa>mid} al-Tanzi>l, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, Cet. III, Vol. I, hlm. 17. Selanjutnya disebut al-Zamakhsyari>
[17]Isma.‘i>l bin ‘Umar bin Kas\i>r, 1999, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (ed. Sa>mi> bin M. Sala>mah), t.tp: Da>r T{aybah li al-Nasyr wa al-Tawzi>‘, Cet. II, Vol. I, hlm. 142-143. Selanjutnya disebut Ibn Kas\i>r
[18]Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?." Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. Lihat al-T{abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n…, Vol. I, hlm. 185
[19]QS. Al-Ma>’idah: 57
[20]QS. Al-Ma>’idah: 59
[21]Al-T{abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n…, Vol. X, hlm. 435-437
[22]Muh}ammad bin Rasyi>d bin ‘Ali> Rid}a>, 1990, Tafsi>r al-Qur’a>n al-H{aki>m, t.tp: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, Vol. I, hlm. 57. Selanjutnya disebut Rasyi>d Rid}a>
[23]Ibid.
[24]Wahbah bin Mus}t}afa> al-Zuh}ayli>, 1418 H, al-Tafsi>r al-Muni>r fi al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘ah wa al-Manhaj, Damaskus: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, Cet. II, Vol. I, hlm. 57. Selanjutnya disebut al-Zuh}ayli>
[25] Al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f…, Vol. I, hlm. 17
[26]Ibn Kas\i>r, Tafsi>r…, Vol. I, hlm. 142-143
[27]Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus."
[28]Al-T{abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n…, Vol. X, hlm. 487
[29]Ibid., hlm 488
[30]Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-H{aki>m, Vol. I, hlm. 57
[31]Ibid.,hlm. 57-58
[32]Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-H{aki>m, Vol. I, hlm. 58
[33]Ibid.,hlm. 58-59
[34]Ibid.,hlm. 59
[35]Ibid.,hlm. 59-60
[36]Al-Zuh}ayli>, al-Tafsi>r al-Muni>r…, Vol. I, hlm. 57
[37]Al-T{abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n…, Vol. V, hlm. 576
[38]Ibid.
[39]Ibid.
[40]Ibid.,hlm. 578
[41]Ibid.
[42]Al-T{abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n…, Vol. V, hlm. 576
[43] Al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f…, Vol. I, hlm. 316
[44]Ibn Kas\i>r, Tafsi>r…, Vol. I, hlm. 701
[45]Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-H{aki>m, Vol. III, hlm. 63-64
[46]Ibid.,hlm. 64
[47]Al-Zuh}ayli>, al-Tafsi>r al-Muni>r…, Vol. III, hlm. 63
[48] Mah}mu>d bin ‘Amr al-Zamakhsyari>, 1407 H, al-Kasysya>f ‘an H{aqa>’iq wa Gawa>mid} al-Tanzi>l, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, Cet. III, Vol. I, hlm. 17. Selanjutnya disebut al-Zamakhsyari>
[49]Musahadi Ham (ed.), 2007, Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia dari Konflik Agama hingga Mediasi Peradilan, Semarang: Walisongo Mediation Center, Cet. I, hlm. 37
[50]Ibid.
[51]Ibid.,hlm. 81              
[52]Ibid.,hlm. 83
[53]Muh}ammad bin Abi> Bakr IbnQayyim al-Jauziyyah, 1991, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n ‘an Rabb al-‘A<lami>n, (ed. ‘Abd al-Sala>m Ibra>hi>m), Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, Vol III, hlm. 11
[54]Syafa’atunAlmirzanah dan SyahironSyamsuddin (eds.), Upaya…, hlm. 71