Disusun Oleh:
Muhammad Akmaluddin al-Qudsiyyi*)
A. PENDAHULUAN
Kajian al-Qur’an
sudah banyak dilakukan, mulai dari sejarah pembukuan, varian bacaan (qira>’ah) hingga pemahaman (tafsir) ayat-ayatnya. Mengenai yang terakhir ini,
sudah banyak penafsiran dari zaman Rasulullah dan ratusan karya ditulis mulai
dari zaman al-Farra>’ (w.
207 H) hingga masa sekarang seperti Wahbahal-Zuh}ayli>>.
Terhadap karya yang ditulis, setidaknya muncul beberapa pemaknaan terhadap
al-Qur’an (baca: tafsir) yang beragam. Pemaknaan itu ada yang dilihat dari segi
bahasa, sejarah, fikih, teologi dan yang lainnya.
Dengan
terjadinya perbedaan itu, maka pemahaman terhadap ayat al-Qur’an sangat
variatif dan selalu berkembang dari masa ke masa. Dengan pendekatan
hermeneutika yang digagas Paul Ricoeur, makalah ini akan mendiskusikan
beragamnya pemahaman terhadap QS. Al-Fa>tih}ah: 7 dan QS. Al-Baqarah: 269.
B. RIWAYAT HIDUP PAUL RICOEUR
Paul Ricouer
dilahirkan di Valence, Perancis Selatan, tahun 1913 dan menjadi yatim piatu dua
tahun kemudian. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan
dipandang sebagai cendikiawan di Perancis. Dibesarkan sebagai yatim piatu di
Rennes. Pada tahun 1930 ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Universitas
Sorbonne sebagai mahasiswa S-2 dan pada tahun 1935 memperoleh agregasi filsafat
secara resmi di sana.[2] Dia menggeluti bidang filsafat karena bekenalan dengan
R. Dalbiez, kemudian melanjutkan studi di Universitas Sorbonne dan lulus tahun
1935 dengan agregasi filsafat.[1]
Karirnya dimulai
dari perkenalannya dengan Dalbiez di Lycee, seorang filsuf beraliran Thomistis
yang terkenal, karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan
studi mengenai psikoanalisa Freud (1936). Pada tahun 1937 hingga 1939 mengikuti
wajib militer Perancis dan menjadi tahanan perang hingga 1945. Dalam tahanan di
Jerman dia justru belajar filsafat dari karya Husserl, Heidegger, Jaspers yang
lebih beraliran eksistensialis pada waktu itu. Kemudian dia meraih gelar
doktornya di Universitas Strasbourg tahun 1950. Dia terus mempelajari dan
membaca filsafat dari para filsuf besar sehingga dia benar-benar ahli dalam
filsafat. Kemudian selain bidang filsafat, pandangannya meluas kepada politik,
sosial, kultural, pendidikan dan teologi. Berkat pemikiran teologinya, dia
dianugerahi doktor teologi honoris dari Universitas Katolik Nijmegen di Belanda
pada tahun 1968. Dia juga memperoleh gelar profesor filsafat dari Universitas
di Sorbonne pada 1959.[2]
Karya-karyanya
terus saja terbit, baik dalam bidang filsafat maupun teologi. Dia berpindah ke
Universitas Nanterre untuk melakukan kontak lebih erat dengan mahasiswa di
sana, namun justru dalam gerakan mahasiswa melawan pemerintahan Jenderal Gaulle
dia mengundurkan diri karena trauma dengan kekerasan yang terjadi dalam lingkup
kampus. Lalu dia hanya menjadi dosen undangan di Universitas Lauven,
Universitas Chicago dan menjadi direktur di Pusat studi tentang fenomenologi
dan hermeneutika. Dia terus berkarya dalam filsafat, bahasa dan hermeneutika.[3]
Karya-karyanya
antara lainPhilosophie de la Volonte(Filsafat Kehendak)–yang kemudian
dibuat menjadi dua volume; yaituLa Volontaire et l’Involontaire(Yang
Dikehendaki dan Yang Tidak Dikehendaki) dan Finitude et Culpabilite(Keterbatasan
dan Kesalahan)–, L’HommeFaillible(Manusia yang Mudah Jatuh pada Dosa)
dan La Symbolique du Mal (Simbol Dosa/Kejahatan).[4]
C. PEMIKIRAN TENTANG HERMENEUTIKA
Pemikiran Paul
Ricoeur dipengaruhi oleh Gabriel Marcel, fenomenologi dari Husserl, Heidegger
dan Jaspers. Selain itu hobi membaca karya Plato, Aristoteles, Kant, Hegel dan
Nietzsche sehingga ia mempunyai pengetahuan yang luas terhadap filsafat barat. Dalam
karya-karyanya, di tampak memiliki perspektif filsafat yang beralih ke
analisis-eidetik (pengamatan yang sedemikian mendetail), fenomenologis,
historis, hermeneutik hingga pada akhirnya semantik, namun pada akhirnya
konsentrasi Ricoeur mengarah pada hermeneutika.[5]
Kontribusi
Ricoeur adalah dalam teori yang dikembangkannya untuk memahami teks, yaitu
menggabungkan antara pemahaman (verstehen) dan penjelasan (erklaren)
yang telah menjadi perdebatan lama para hermeneut. Ricoeurberargumen bahwa
keduanya (verstehendan erklaren) dibutuhkan untuk membongkar
makna yang terkandung dalam teks. Menurutnya, penjelasan (erklaren) akan
memperjelas atau membuka jajaran posisi dan makna sementara dengan pemahaman (verstehen)
kita akan memahami atau mengerti makna parsial secara keseluruhan dalam suatu
upaya sintesis. Dengan demikian, menurut Ricoeur, membaca adalah menafsirkan
dan menafsirkan adalah memahami dan menjelaskan.[6]
Ricoeur
bermaksud mengintegrasikan antara pemahaman (verstehen) dan penjelasan (erklaren)
dalam satu proses penafsiran seperti terlihat dalam momen awal interpretasi
teks. Secara sederhana, dalam teori interpretasi Ricoeurada tiga momen:[7]
1. Momen pertama adalah proses menafsirkan teks
berawal dengan menebak atau mengira-ngira makna teks karena pembaca sebenarnya
tidak mempunyai akses untuk mengetahui maksud pengarang. Bagi Ricoeur, inilah
proses pemahaman (verstehen) paling awal dan kita mencoba memahami makna
teks secara umum, belum sampai mendetail (pre-reflective understanding).
Pada momen awal ini, teks kemungkinan menyuguhkan beragam makna
2. Momen kedua adalah kita mulai mencari
penjelasan kritis dan metodis menyangkut pemaknaan awal yang dihasilkan melalui
pre-reflective understanding. Pemahaman itu bisa saja divalidasi,
dikoreksi atau diperdalam dengan mempertimbangkan struktur obyektif teks. Di
sini terlihat pemahaman mendetail harus diperoleh melalui momen penjelasan
metodis (suatu proses yang bersifat argumentatif-rasional)
3. Momen ketiga adalah apa yang disebut appropriation
yaitu proses memahami diri sendiri di hadapan dunia yang diproyeksikan teks
dan merupakan puncak dari proses penafsiran di mana seseorang menjadi lebih
memahami dirinya sendiri. Pada momen ini terjadi dialog antara pembaca dan
teks.
Hermeneutika Ricoeur
bersifat dialektis dan evaluatif. Dialektis artinya ada keterkaitan resiprokal
(timbal balik) antara pemahaman (verstehen) dan penjelasan (erklaren)
di satu sisi dan momen dialogis antara pembaca dan teks di sisi lain. Evaluatif
artinya karena distansiasi(jarak) metodologis mengasumsikan adanya
subyektivitas penafsiran yang membutuhkan prosedur atau metode tertentu untuk
mengevaluasinya.[8]
Yang menarik
dariRicoeur adalah prosedur untuk mengevaluasi subyektivitas tafsir tidak lain
adalah logika probabilitas dan bukan logika empirik-verifikatif. Dengan
menekankan logika validasi (bukan empirik-verifikatif), ia hendak menegaskan
bahwa perbedaan tafsir itu selalu terbuka untuk diperdebatkan, didialogkan dan
disintesiskan. Ia tidak memandang semua penafsiran sama karena adanya keragaman
atau bahkan pertentangan tafsir mengindikasikan bahwa tafsir-tafsir tersebut
perlu didukung dengan argumen-argumen yang menguatkannya. Menurutnya, metode
probabilitas yang dipakai untuk menguji subyektivisme makna itu dimaksudkan
untuk melampau jebakan dogmatisme dan skeptisisme.[9]
Sebuah teks
adalah subyektif dalam kaitannya dengan apa yang sebenarnya dimaksudkan
pengarangnya. Dan obyektif dalam kaitannya dengan apa yang bisa ditangkap dari teks.Dalam tafsir al-Qur’an misalnya, hermeneutika klasik akan
merekomendasikan seorang mufassir untuk membayangkan dirinya hidup pada zaman
Rasulullah bersama dengan orang-orang Arab pada waktu itu untuk bisa memahami
apa yang diinginkan oleh al-Qur’an. Mengenai jarak waktu yang ada di antara
kita dan pembuatan teks yang kita baca, ada dua aliran yang berkembang. Yang
pertama adalah aliran obyektif, dimana aliran ini menarik kita ke dalam zaman
teks. Aliran ini diwakili oleh Schleiermacher dan Dilthey. Aliran ini mengajak
untuk memahami teks sebagaimana ada di luar diri penafsir, dalam zaman
pembuatan teks itu sendiri sebagaimana diharapkan oleh pengarangnya. Dalam
tafsir, aliran ini disebut tafsir bi al-ma’tsur. Yang kedua adalah
aliran subyektif yang menarik teks ke zaman kita, yang diwakili Gadamer,.
Aliran ini berusaha untuk mendialogkan teks dengan pembaca dan situasi di
zamannya serta kemampuannya untuk memaknai teks atas dasar tanda-tanda yang
terdapat dalam teks itu sendiri. Dalam tafsir, aliran ini disebut tafsir bi
al-ra’y.[10]
Ricoeur mengakui teks
selalu punya pengarang tetapi pada saat yang sama teks bisa difahami otonom dari
maksud awal pengarang. Menurutnya, teks menjauh dari horizon pengarangnya.
Makna teks sekarang lebih penting daripada apa yang dimaksudkan pengarangnya
saat menulis teks. Baginya, mengetahui siapa yang menulis teks dan kapan
ditulis sama sekali tidak berguna dalam memahami teks. Makna dari teks bisa
berkembang dan berubah melampaui maksud pengarangnya. Interpretasi hermeneutis
memunculkan rangkaian makna baru di hadapan teks dan memungkinkan terjadinya
variasi pembacaan, baik yang mendukung makna terdahulu maupun yang menentangnya.Bagi
Ricoeur, tesis utama hermeneutika adalah bahwa interpretasi masih berada dalam
proses (ongoing process), terus berlangsung dan tidak akan ada yang
menuntaskannya.[11]
Plurivocity
of Text
Plurivositas teks menurut Ricoeur adalah tipikal dari karya-karya diskursus
yang kompleks dan terbuka bagi keragaman pemaknaan. Dengan demikian, para mufassir
klasik yang dianggap lebih dekat dengan wahyu dan lebih tahu makna ayat
al-Qur’an tidak lebih tahu dari mufassir modern. Para mufassir
klasik, sebagaimana nanti kita akan membahasnya, menafsirkan ayat al-Qur’an
berdasarkan pemahaman yang mereka anggap paling masuk akal dan bukan menurut
pengertian yang dimaksudkan Allah atau Rasulullah.[12]
Secara tidak langsung,
para mufassir klasikmenyadari bahwa teks al-Qur’an itu terbuka bagi
beragam penafsiran. Bagi Ricoeur, mereka menggunakan prosedur membaca teks dari
menebak makna (pre-reflective
understanding) hingga distansiasi
metodis dan tidak berbeda dengan kita sekarang.[13]
D. PENAFSIRANAL-FA<TIH{AH:
7 DAN QS. AL-BAQARAH: 269
Allah berfirman
dalam al-Qur’an al-Karim:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“(yaitu)
Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ
الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو
الْأَلْبَابِ
“Allah menganugerahkan al-hikmah
(kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
Dalam ayat
tersebut, akan dibahas penafsiran tiga bagian ayat, yaitual-magd}u>b
‘alayhim, wa ala>
al-d}a>lli>ndanal-h}ikmah dari mufassirpra al-T{abari,[14]
al-T{abari, al-Zamakhsyari>, Ibn Kas\i>r, M. Abduh dan al-Zuh}ayli>.
Masing-masing dari mufasir tersebut menurut penulis sudah cukup untuk melihat
berbagai penafsiran yang beragam.
1. Al-magd}u>b
‘alayhim(mereka yang dimurkai)
Para mufassir
klasik seperti ‘Adiyy bin H{a>tim, ‘AbdAlla>h bin Syaqi>q, Ibn Mas‘u>d, Muja>hid
dan Rabi>‘ dan Ibn ‘Abba>s mengatakan bahwa mereka adalah Yahudi.[15]Mufassir
sesudah mereka seperti Al-Zamakhsyari>[16] dan Ibn Kas\i>r
juga sependapat dengan mereka.[17]
Menurut al-T{abari>,
arti dari mereka yang dimurkaidijelaskan dalam QS. Al-Ma>’idah:
60.[18]Selanjutnya
al-T{abari>dalam QS. Al-Ma>’idah:
60 mengatakan, sependapat dengan Abu>Ja’far,bahwa
mereka adalahorang-orang yang
membuat agama Islam jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara
orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir
(orang-orang musyrik)[19]dan memandang
orang Islam salah, hanya lantaran mereka beriman kepada Allah, kepada apa yang
diturunkan kepada mereka dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya.[20]Mereka yang dijauhkan dari rahmat Allah dan
dimurkai-Nya sehingga adzab disegerakan di dunia.[21]
Dalam hal ini, orang-orang yang sesuai dengan kriteria di atas pada zaman
Rasulullah adalah orang Yahudi.
Muhammad ‘Abduh
memberikan penafsiran bahwa mereka yang dimurkaiadalah orang yang keluar dari kebenaran setelah mereka
mengetahuinya dan mereka yang telah sampai padanya syari’at dan agama Allah
kemudian mencampakkan dan menolaknya dengan berpaling dari argumen, hanya
mengikuti perkataan yang tidak jelas dan mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk.[22]
Mereka yang dimurkaiorang yang tersesat. Ini dikarenakan mereka
mencampakkan yang benar dan berpaling dari tujuan dan arah yang benar. Mereka
ini tidak sama, ada yang tahu kebenaran tersebut dan berpaling darinya. Ada
juga yang tidak tahu kebenaran tersebut hingga tersesat di jalan sehingga tidak
sampai pada tujuan. Yang terakhir ini juga tidak sama, ada yang belum sampai
padanya ajaran tentang kebenaran itu dan ada yang sudah. Adapun mereka yang sudah
sampai padanya ajaran tentang kebenaran itu dan mereka tidak mendapat kejelasan
kebenaran tersebut, merekalah yang berhak mendapatkan predikat tersesat.
Ini dikarenakan substansi dari tersesat adalah mereka yang kesasar dalam
ketidakjelasan (‘ama>yah) yang tidak mendapat
petunjuk padaapa yang dicarinya. Adapun ketidakjelasan (‘ama>yah) dalam agama adalah hal-hal yang syubhah(tidak
jelas) yang menyerupakan yang benar dengan yang batil dan yang benar dengan
yang salah.[23]
Menurut al-Zuh}ayli>, mereka yang dimurkaiadalah mereka yang sampai
padanya agama yang benar yang disyari’atkan Allah pada hamba-Nya tetapi mereka
menampik dan membuangnya.[24]
2. Wa ala> al-d}a>lli>n(mereka yang sesat)
Para mufassir
klasik seperti ‘Adiyy bin H{a>tim, ‘AbdAlla>h bin Syaqi>q, Ibn Mas‘u>d, Muja>hid,
Rabi>‘ dan Ibnu ‘Abba>s
mengatakan bahwa mereka adalah Nasrani. Mufassir sesudah mereka
seperti Al-Zamakhsyari>[25] dan Ibn Kas\i>r
juga sependapat dengan mereka.[26]
Menurut al-T{abari>,
arti dari mereka yang sesatadalah mereka adalah yang disifati Allah dalam QS. QS.
Al-Ma>’idah: 77.[27]Selanjutnya al-T{abari>dalam QS.
Al-Ma>’idah: 77 mengatakan,
sependapat dengan Abu>Ja’far,
yaitu tidak berlebih-lebihan (melampaui batas) sebagaimana terjadi dalam diri ‘I@sa>
al-Masi>h}yang dianggap Tuhan atau anak Tuhan sehingga
tersesat dari jalan yang benar.[28]
Juga tidak mengikuti hawa nafsu Yahudi yang tersesat dari jalan kebenaran sebab
perkataan mereka tentang tuduhan terhadap Maryam. Begitu juga dengan apa yang
telah dilakukan Yahudi, yaitu menyesatkan orang-orang dari jalan kebenaran
dengan kufur mereka kepada Allah dan pendustaan terhadap utusan-Nya, yaitu Isa
dan Muhammad, hilang dan jauhnya keimanan dari diri mereka.[29]
Muhammad ‘Abduh
memberikan penafsiran bahwa mereka yang sesatada beberapa jenis:[30]
a. Mereka yang tidak
sampai padanya ajaran Allah (risa>lah) atau sampai tetapi tidak
membutuhkan angan-angan. Mereka ini tidak bisa mendapatkan petunjuk kecuali apa
yang dihasilkan panca indra dan akal. Mereka terhalang dari petunjuk agama.
Walaupun mereka tidak tersesat dalam kehidupan dunia, maka mereka akan tersesat
dalam kehidupan selanjutnya[31]
b. Mereka yang sampai
padanya ajaran Allah dan masih membutuhkan angan-angan. Mereka tidak bisa
mendapati oleh keimanan dan menghabiskan umur dan usahanya untuk memahami
ajaran Allah. Ini hanya terjadi pada sebagian orang sehingga kesesatan mereka tidak
berefek pada orang yang lain[32]
c. Mereka yang sampai
padanya ajaran Allah, membenarkannya tanpa berangan-angan dalil-dalilnya
sehingga mengikuti hawa nafsu dalam memahami pondasi akidah sebagaimana terjadi
pada beberapa kajian dasar agama seperti tauhid, tasawuf dan yang lainnya[33]
d. Sesat dalam perbuatan
dan merubah hukum yang telah ditetapkan, seperti merubah (ih}tiyal) status harta dengan berganti kepemilikan agar tidak
wajib dizakati.[34]
Menurut Abduh, kriteria pertama, ketiga dan keempat
terlihat dampaknya yang merusak umat, merusak akhlak dan akibatnya terjadilah
berbagai bencana, baik bencana yang material maupun immaterial.[35]
Menurut al-Zuh}ayli>, mereka yang sesatadalah mereka yang
tidak mengetahui kebenaran atau tidak mengetahuinya secara benar. Mereka adalah
yang tidak sampai padanya ajaran Allah atau sampai tetapi hanya sebagian.[36]
3. Al-h}ikmah(hikmah)
Ibn ‘Abba>s menafsirkanal-h}ikmahdengan pengetahuan tentang al-Qur’an yang
meliputina>sihk-mansu>kh, muh}kam-mutasyabih, muqaddam-muakhkhir, halal-haram
dan yang lainnya.[37]Sementara
Muja>hid menafsirkan sebagai
is}a>bah (kebenaran, ketepatan, mendapatkan).[38]Qata>dah menafsirkan pemahaman al-Qur’an.[39]
Ibn Zayd menafsirkan al-h}ikmahsebagai akal.[40]Al-Rabi>‘ menafsirkandengan takut, karena pokok segala
sesuatu adalah takut kepada Allah seperti dalam QS. Fa>t}ir: 28.Yang
lain mengatakan pengetahuan tentang agama.[41]
Menurut al-T{abari>,
arti darial-h}ikmah, sependapat dengan Abu>Ja‘far adalah mendapatkan kebenaran dalam
perkataan dan perbuatan.[42]
Sedangkan al-Zamakhsyari>
menafsirkan sebagai keharmonisan ilmu dan perbuatan, dan orang yang mempunyai al-h}ikmah adalah Yang Mempunyai Ilmu dan Yang Melakukan.[43]
Ibn Kas\i>r
menerangkan bahwa al-h}ikmahtidak dikhususkan dengan kenabian –walaupun
menjadi tingkat paling atas– dan risa>lah adalah yang paling spesifik, tetapi mengikuti para nabi adalah suatu
kebaikan sebagaimana diriwayatkan dalam hadis bahwa orang yang menghafalkan al-Qur’an
dimasukkan dalam derajat kenabian diantara dua bahunya, hanya saja dia tidak
diberi wahyu.[44]
Menurut Abduh,
arti dari al-h}ikmahadalah pengetahuan yang benar yang menjadi
sifat yang mengatur diri sendiri, yang kemudian diarahkan pada perbuatan. Ketika
suatu perbuatan berasal dari pengetahuan yang benar, maka akan menjadi
perbuatan yang baik dan bermanfaat yang mengantarkan pada kebahagiaan. Abduh
melihat bahwa banyak pengetahuan yang benar hanya menjadi wacana dan tidak
direalisasikan sehingga hanya menjadi angan-angan dan buaian.[45]
Lebih lanjut
Abduh mengatakan bahwa pemberian hikmah ini adalah pemberian alatnya, yaitu
akal yang digunakan untuk menghasilkan pengetahuan yang benar. Akal adalah alat
timbang yang akurat bagi kekhawatiran dan ketidaksadaran, yang membedakan
imajinasi dan otentifikasi, sehingga ketika skala kebenaran terbukti maka skala
ilusi akan tersingkirkan.[46]
Menurut al-Zuh}ayli>,
dengan mengkompromikan berbagai tafsiran mufassir, makaal-h}ikmahadalah faham yang benar dan ilmu yang bermanfaat serta mengikuti sesuatu
yang diketahui yang mengantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat.[47]
E. ANALISIS
Dari ketiga
bagian diatas, yaitu al-magd}u>b ‘alayhim, wa ala> al-d}a>lli>n dan al-h}ikmahkita melihat beberapa penafsiran yang berbeda.
Dalam penafsiran awal, al-magd}u>b ‘alayhimdimaknai sebagai orang Yahudi dan mereka yang sesatadalah Nasrani. Sayangnya, pemahaman mufassirseperti ‘Adiyy bin H{a>tim,
‘AbdAlla>h bin Syaqi>q, Ibn Mas‘u>d, Muja>hid
dan Rabi>‘ dan Ibn ‘Abba>s, al-Zamakhsyari>[48] dan Ibn Kas\i>rkemudian
ditangkap secara mutlak oleh beberapa orang sehingga Yahudi dan Nasrani“pantas”
dijadikan musuh.Apalagi mufassir yang disebutkan tadi, menurut sebagian orang, dianggap
pemegang otoritas teks.
Para pendukung gerakan Islamisme memiliki loyalitas
yang tinggi terhadap pemimpin mereka yang diyakini memiliki loyalitas yang
tinggi untuk pemahaman ajaran agama yang “benar”. Sifat ini kemudian membentuk
ketaatan dan kepatuhan terhadap semua penafsiran teks agama secara total dan
absolut dan menyebabkan penafsiran menjadi homogen. Akhirnya berkembanglah
fanatisme buta yang memandang curiga semua pendapat yang datang dari luar.
Absolutisme ini menjadi pangkal masalah ketika dipaksakan berlaku universal
bagi semua kelompok agama yang ada.[49]
Kelompok fundamentalis seakan-akan meletakkan dunia
ini sebagai sesuatu yang bersifat sakral dan bersifat ila>hiyyahyang keluar dari nilai-nilai kesejarahan yang bersifat
manusiawi dan berubah. Gerakan fundamentalisme cenderung menafikan adanya
pluralitas definisi, kriteria dan penafsiran keontetikan prinsip-prinsip Islam.[50]Padahal para mufassir klasik menafsirkan ayat
al-Qur’an berdasarkan pemahaman yang mereka anggap paling masuk akal dan bukan
menurut pengertian yang dimaksudkan Allah atau Rasulullah.[51]Secara
tidak langsung, para mufassir klasik menyadari bahwa teks al-Qur’an itu
terbuka bagi beragam penafsiran. Bagi Ricoeur, mereka menggunakan prosedur
membaca teks dari menebak makna (pre-reflective
understanding) hingga distansiasi
metodis dan tidak berbeda dengan kita sekarang.[52]
Hal ini
dapat kita lihat dalam penafsiran al-T{abari> yang
kemudian memerinci dari mufassir sebelumnya dengan menggunakan QS. Al-Ma>’idah: 57-60 untuk kriteria Yahudi “yang
dimurkai” dan QS. Al-Ma>’idah:
77 untuk kriteria Nasrani “yang tersesat”. Dengan demikian, kriteria Yahudi dan
Nasranipada zaman dahulu tidaksama. Mereka ada yang ekstrim, moderat dan
liberal, sebagaimana dikatakan dalam QS. A<li ‘Imra>n:75 dan QS. A<li ‘Imra>n: 113-115. Kriteria seperti itu juga ada pada masa
sekarang. Bahkan jika mereka tidak mengganggu kita, tidak ada salahnya kita
berbuat baik dan adil kepada mereka sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Mumta}anah: 8-9. Perlakuan ini juga berubah sesuai dengan
situasi, kondisi, tempat, waktu, motivasi dan kebiasaan yang ada.[53]
Keterbukaan dan
ragam penafsiran ini juga terjadi pada Abduh yang tidak lagi berbicara tentang kriteria
Yahudi “yang dimurkai” dan kriteria Nasrani “yang tersesat”, tetapi ia
berbicara tentang definisi, kriteria dan ragam “yang dimurkai” dan “yang
tersesat.” Penafsiran “yang dimurkai” dan “yang tersesat” ini kemudian berkembang
terhadap semua orang, tidak hanya pada agama, ras, kelompok, atau bangsa
tertentu.Sayangnya, al-Zuh}ayli> yang datang belakangan kemudian membawa
penafsiran ini kembali pada ranah agama saja. Mungkin ini dikarenakan kajian
tafsirnya yang berkisar pada akidah, syari’ah dan metode.
Dalam bagian al-h}ikmah, keterbukaan dan ragam penafsiran ini juga terjadi. Tidak ada kesepakatan
dalam memahami dan menjelaskan al-h}ikmahdi antara para mufassir.Bagi Ricoeur,
mengetahui siapa yang menulis teks dan kapan ditulis sama sekali tidak berguna
dalam memahami teks. Makna dari al-h}ikmahbisa
berkembang dan berubah melampaui mufassir sebelumya. Interpretasi
hermeneutis memunculkan rangkaian makna baru di hadapan al-h}ikmahdan
memungkinkan terjadinya variasi pembacaan, baik yang mendukung makna terdahulu
maupun yang menentangnya.Baginya, tesis utama hermeneutika adalah bahwa
interpretasi al-h}ikmahmasih
berada dalam proses (ongoing process), terus berlangsung dan tidak akan
ada yang menuntaskannya.[54]
Hal ini dapat kita lihat dari penafsiran al-h}ikmahyang selalu berlangsung dari pra al-T{abari>
hingga al-Zuh}ayli>.
F. PENUTUP
Dengan
menganalisis tiga bagian dari surat al-Qur’an, yaitu al-magd}u>b
‘alayhim(mereka yang dimurkai), wa ala> al-d}a>lli>n (mereka yang sesat) dan al-h}ikmah(hikmah) kita melihat bahwa penafsiran itu
selalu berkembang dan beragam. Penafsiran teks sudah, sedang dan dilakukan
mengingat pemahaman itu bisa saja divalidasi, dikoreksi atau diperdalam dengan
mempertimbangkan struktur obyektif teks.Proses memahami diri sendiri di hadapan
dunia yang diproyeksikan teks dan merupakan puncak dari proses penafsiran di
mana seseorang menjadi lebih memahami dirinya sendiri. Pada momen ini terjadi
dialog antara pembaca dan teks.
Oleh karena itu,
tidak ada penafsiran teks yang dianggap paling benar. Semua penafsiran selalu
berkembang, sehingga selalu ada satu penafsiran dan penafsiran yang lain.
Dengan pemahaman akan teks yang beragam, diharapkan akan terjadi proses
dialektika pemahaman yang semakin memberikan khazanah keilmuan dan memperkaya
kajian ilmu-ilmu yang ada, terutama kajian Tafsir dan Hadis.
G. BIBLIOGRAFI
E. Sumaryono,
2013, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, Cet. XII
Isma.‘i>l bin ‘Umar bin Kas\i>r,
1999, Tafsi>r
al-Qur’a>n
al-‘Az}i>m, (ed. Sa>mi> bin M. Sala>mah), t.tp: Da>r T{aybah li
al-Nasyr wa al-Tawzi>‘,
Cet. II, Vol. I
M. H{usaynAl-Z|ahabi>, tt., al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Kairo: MaktabahWahbah
Machasin, Sumbangan
Hermeneutika tehadap Ilmu Tafsir, Jurnal Gerbang No. 14 Vol. V Tahun 2003,
Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi (eLSAD) dan The Asia Foundatio
Mah}mu>d bin
‘Amr al-Zamakhsyari>,
1407 H, al-Kasysya>f
‘an H{aqa>’iq wa Gawa>mid}
al-Tanzi>l, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, Cet. III, Vol. I
Muh}ammad bin Abi> Bakr Ibn Qayyim al-Jauziyyah, 1991, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n ‘an Rabb al-‘A<lami>n, (ed. ‘Abd al-Sala>m
Ibra>hi>m), Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, Vol III
Muh}ammad bin Jari>r al-T{abari>, 2000, Ja>mi‘ al-Baya>n fi>Ta’wi>l al-Qur’a>n, (ed. Ah}mad M.
Sya>kir), Beirut:
Mu’assasah al-Risa>lah,
Cet. I, Vol. I
Muh}ammad bin Rasyi>d bin ‘Ali> Rid}a>,
1990, Tafsi>r
al-Qur’a>n
al-H{aki>m, t.tp: al-Hay’ah al-Mis}riyyah
al-‘A<mmah li al-Kita>b, Vol. I
Musahadi Ham
(ed.), 2007, Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia dari Konflik Agama
hingga Mediasi Peradilan, Semarang: Walisongo Mediation Center, Cet. I
Syafa’atunAlmirzanah
dan SyahironSyamsuddin (eds.), 2011, Upaya Integrasi Hermeneutik dalam
Kajian Qur’an dan Hadis Teori dan Aplikasi Buku 2, Yogyakarta: Lembaga
Penerbitan UIN Sunan Kalijaga, Cet. II
Wahbah bin Mus}t}afa> al-Zuh}ayli>, 1418 H, al-Tafsi>r al-Muni>r fi al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘ah wa al-Manhaj, Damaskus: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, Cet.
II, Vol. I
[1] E. Sumaryono, 2013, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. XII, hlm. 103
[6], Syafa’atunAlmirzanah dan SyahironSyamsuddin
(eds.), 2011, Upaya Integrasi Hermeneutik dalam Kajian Qur’an dan Hadis
Teori dan Aplikasi Buku 2, Yogyakarta: Lembaga Penerbitan UIN Sunan
Kalijaga, Cet. II, hlm. 65-67
[8]Syafa’atunAlmirzanah dan SyahironSyamsuddin
(eds.), Upaya…, hlm. 70
[9]Syafa’atunAlmirzanah dan SyahironSyamsuddin
(eds.), Upaya…, hlm. 70
[10]Machasin, Sumbangan Hermeneutika tehadap Ilmu Tafsir, Jurnal
Gerbang No. 14 Vol. V Tahun 2003, Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi
(eLSAD) dan The Asia Foundation hlm. 124-125. Lihat juga Al-Z|ahabi>, M. H{usayn, tt., al-Tafsi>r wa
al-Mufassiru>n, Kairo: MaktabahWahbah, hlm. 112 dan
183
[11]Syafa’atunAlmirzanah dan SyahironSyamsuddin
(eds.), Upaya…, hlm. 71
[15]Muh}ammad
bin Jari>r al-T{abari>,
2000, Ja>mi‘
al-Baya>n
fi>Ta’wi>l al-Qur’a>n, (ed. Ah}mad M.
Sya>kir), Beirut:
Mu’assasah al-Risa>lah,
Cet. I, Vol. I, hlm. 185. Selanjutnya disebut al-T{abari>
[16] Mah}mu>d bin ‘Amr al-Zamakhsyari>, 1407 H, al-Kasysya>f ‘an H{aqa>’iq wa Gawa>mid} al-Tanzi>l, Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Arabi>, Cet. III, Vol. I, hlm. 17. Selanjutnya disebut al-Zamakhsyari>
[17]Isma.‘i>l bin
‘Umar bin Kas\i>r, 1999, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (ed. Sa>mi> bin M. Sala>mah), t.tp: Da>r T{aybah li
al-Nasyr wa al-Tawzi>‘,
Cet. II, Vol. I, hlm. 142-143. Selanjutnya disebut Ibn Kas\i>r
[18]Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan
kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang
fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah, di
antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?." Mereka itu lebih buruk
tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. Lihat al-T{abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n…, Vol. I, hlm. 185
[22]Muh}ammad
bin Rasyi>d bin ‘Ali> Rid}a>, 1990, Tafsi>r al-Qur’a>n al-H{aki>m,
t.tp: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, Vol. I, hlm. 57. Selanjutnya disebut Rasyi>d Rid}a>
[24]Wahbah bin Mus}t}afa> al-Zuh}ayli>, 1418 H, al-Tafsi>r al-Muni>r fi al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘ah wa al-Manhaj, Damaskus: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, Cet.
II, Vol. I, hlm. 57. Selanjutnya disebut al-Zuh}ayli>
[27]Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan
(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad)
dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari
jalan yang lurus."
[48] Mah}mu>d bin ‘Amr al-Zamakhsyari>, 1407 H, al-Kasysya>f ‘an H{aqa>’iq wa Gawa>mid} al-Tanzi>l, Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Arabi>, Cet. III, Vol. I, hlm. 17. Selanjutnya disebut al-Zamakhsyari>
[49]Musahadi Ham (ed.), 2007, Mediasi dan Resolusi Konflik di
Indonesia dari Konflik Agama hingga Mediasi Peradilan, Semarang: Walisongo
Mediation Center, Cet. I, hlm. 37
[53]Muh}ammad
bin Abi> Bakr IbnQayyim al-Jauziyyah,
1991, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n
‘an Rabb al-‘A<lami>n, (ed. ‘Abd al-Sala>m
Ibra>hi>m), Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, Vol III, hlm. 11
[54]Syafa’atunAlmirzanah dan SyahironSyamsuddin
(eds.), Upaya…, hlm. 71